Dalam dua bulan ini aku bertambah 5 kilo.
Akibat terlalu banyak nasi, alkohol dan juga
lemak-lemak babi yang enak itu yang tidak diimbangi olahraga. Ya intinya, gaya
hidup lah.
Kalau saja lemak itu bisa di alokasikan ke
tempat-tempat yang aku inginkan, contohnya di bagian payudara. Ya, satu cup
lebih besar dari ukuranku biasanya paling tidak. Mungkin aku tidak akan terlalu
kesal.
Lah ini, terpusat di perut. Sungguh tidak indah
Aku meyakinkan diriku, nantipun akan kurus dengan
sendirinya. Aku akan balas dengan olahraga yang intens. Walaupun hati kecilku
tahu itu tidak akan terjadi. Toh aku punya plan B yang cukup ampuh. Patah hati.
Oke, aku percaya lambat laun aku akan patah hati dengan salah satu lelakiku
ini. Aku akan sedih dan kehilangan napsu makan, aku pun akan kurus kembali pada
akhirnya.
Hari ini weekend seperti biasa aku bangun lumayan
siang. Rencana yang kubuat malam sebelumnya untuk bangun pagi dan menjalani
weekend yang produktif tentu saja tidak terjadi.
Kurangnya motivasi dikarenakan
batalnya kencanku dengan lelakiku hari ini. Katanya dia ada pekerjaan mendadak. Baiklah. Mau bagaimana lagi. Aku melanjutkan tidurku saja.
Aku terbangun karena dering telpon kawanku. Dia
mengajak untuk mencoba warung Indomie dengan level pedas yang bermacam-macam di
daerah Jakarta Barat. Siapa yang tidak berselera membayangkan Indomie goreng
dengan tambahan telur dadar dan kornet, jangan lupakan cabai rawitnya yang
banyak itu ya.
Cukup memotivasi untuk beranjak dari kasur.
Sampai di tempat, menu pertama yang di pesan. Tentu
saja Indomie goreng telur dadar kornet. Aku tahu diri, aku pilih level sedang
dengan 10 cabai. Kawanku memesan yang 25 cabai. Kami habiskan dengan cepat. Kok masih lapar ya. Dasar tamak, jadilah kami mengorder lagi. Aku dengan 7 cabai
dan kawanku dengan 50 cabai. Dia bukan manusia. Kepalaku sampai pusing karena cabai-cabai itu.
Intinya kami kepedasan dan kenyang mampus. Celana pun semakin ketat.
Dasar manusia. Mulut
kami masih ingin mengunyah walau perut sudah terasa penuh. Perjalanan dilanjutkan.
‘BRETTT’ bunyi yang kudengar diikuti dengan celana
yang terasa lebih longgar. Aku punya firasat buruk. Benar kan. Resleting celana
high weist ku ini jebol. Kurang ajar,
saatnya tidak tepat.
Bukannya di jalan pulang saja, malah di tengah-tengah
perburuan makanan ini.
Kami dalam perjalanan mencari tempat singgah untuk mengopi
terlebih dahulu barang sejam-dua jam sebelum makan besar lagi.
Kawanku cukup rewel tentang coffee shop mana yang akan kami datangi. Terlalu banyak pilihan katanya. Duh. Aku sudah tidak bisa konsentrasi, sibuk membetulkan resleting sialan ini. Agak susah karena posisi duduk di mobil dan cahayanya kurang. Jebolnya resleting ini tampak tidak tertolong. Serius.
Mau coffee shop manapun. Terserah. Aku hanya butuh ke toilet yang cukup terang.
Coffee Shop yang
kami datangi ternyata sepi, baguslah. Aku segera menuju toilet, berniat
membetulkan resleting itu. Namun sial tidak bisa dihindarkan. Sudah.
Aku memutar otak, memikirkan apakah aku harus membeli bawahan tapi dimana, atau aku harus pulang saja, bisa dijitak kawanku kalau aku minta pulang setelah berjam-jam di jalan untuk mencapai area itu.
Aku memutuskan bertanya pada
Mbak-mbak waitress apakah ada yang
punya peniti atau apapun untuk menjadi penyambung sementara.
Ternyata ada! Aku tertolong oleh peniti kecil yang diberikan oleh
Mbak waitress itu.
Faith in humanity restored. Jasamu, Mbak. Tidak akan aku lupakan.
Comments
Post a Comment