Hidupku tanpa lelaki, bagaikan sayur tanpa garam. Dangdut, maaf!
Setiap orang biasanya memiliki kryptonite versi mereka. Ada yang alkohol, narkoba, makanan, hewan peliharaan, dan lainnya.
Kryptonite miliku? Lelaki...
Bagaimana lelaki-lelaki ini datang dan pergi, alur kisahnya mirip-mirip biasanya. Biasanya aku lengah, sampai tiba di satu saat dimana aku terpatil! Iya, terpatil hatiku! Barulah aku sadar, namun sudah terlambat.
Seandainya aku mengejar mimpi dan karirku dengan usaha dan semangat yang sama seperti yang aku berikan pada lelaki-lelaki ini. Tentu saja aku sudah menjadi sosok wanita tangguh dan inspiratif bagi nusa bangsa.
Aku kira aku wanita yang merdeka, tidak, aku terjajah. Terjajah oleh perasaanku sendiri.
Menengok satu tahun ke belakang, enam patah hati yang aku alami. Gila, kalau dihitung rata-rata, bisa dua bulan sekali aku bersedih hati atas hubungan fana yang gagal. Dimana kenyataan tidak sesuai harapan.
Patah hati terakhirku? Pada lelaki yang sedang mengejar mimpinya untuk memiliki restorannya sendiri, setelah hampir 20 tahun dia memasak namun untuk restoran milik orang lain.
Kami bertemu ketika semua itu masih rencana, di pinggir pantai, dengan iringan musik dan deburan omba, dia menceritakan mimpi dan rencananya.
Saat itu, aku jatuh hati. Jatuh hati pada semangat hidupnya.
Aku bersamanya ketika restoran itu dibuka, menemaninya di hari ramai dan sepi pengunjung, membantunya menutup restoran tersebut di malam hari, namun bagian yang paling kusuka adalah memeluknya erat di malam-malam kami hingga dia tertidur di pelukanku.
Terdengar indah dan seperti pasangan selayaknya ya. Aku merasa bahagia hanya berada di dekatnya, jadi mungkin itu membuatku sedikit delusional, karena pada kenyataannya, kami hanyalah teman, teman tidur.
Baik, aku akan jujur pada kalian. Apakah pada saat itu aku benar-benar hanya padanya? Tidak. Ada sekitar enam laki-laki yang menjadi selingan. Kenapa? Pembelaanku adalah karena selingan itu menjadi penetralisir hubungan delusionalku dengannya. Apakah dia tahu? Ya nampaknya dia tahu. Apakah dia marah? Tidak, karena memang tidak pernah ada ikatan apa-apa antara kami berdua.
Menyadari kenyataan bahwa sebenarnya ini adalah perasaan yang bertepuk sebelah tangan membuatku frustasi. Namun, apakah aku menyerah? Tentu tidak, modus-modus halusku tetap kuberikan. Memberinya pernak-pernik lucu untuk restorannya, membawa teman-temanku untuk mengunjungi restorannya, mengunjunginya di malam hari ketika dia terkena flu berat dan membawa obat, memilih restorannya untuk menjadi tempat meeting dengan klienku. Apapun untuk bisa bertemu dengannya.
Usaha terakhirku adalah, menulis sebuah puisi untuknya. Puisi yang akhirnya tidak pernah kuberikan padanya. Aku sadar, ada saatnya untuk menyerah, melanjutkan hidupku, dan mendoakannya sukses untuknya dan restorannya dalam hati.
Hal yang berat sebenarnya karena restorannya punya masakan yang benar-benar enak. Gundahlah aku, namun apa daya, aku tak sanggup bertemu langsung dengannya. Apakah dia mencariku? Tidak, dia tidak pernah mencariku, aku yang selalu datang padanya.
Pernah sih dia mencariku, namun untuk urusan kerjaan. Bertemu sebentar, aku sangat profesional dan cool pada saat itu. Ketika dia bertanya apa kabarku, aku menjawab semua berjalan lancar dan aku baik-baik saja. Aku bilang aku tidak bisa berlama-lama karena aku cukup sibuk saat itu. Aku bangga pada diriku sendiri.
Waktu pun berlalu, hatiku sudah tidak patah lagi, rasa rindu itu muncul. Aku ingin sekali tahu tentang kabarnya, bukan dari media sosialnya, namun langsung dari mulutnya.
Pesan singkat sudah terkirim untuknya. Tak mengunggu lama, mendapatkan balasan.
‘Everything is great here. How are you? I’m at home. Come over, it would be cool to see you!’
Baik. Panggilan tidur rupanya.
Akupun meluncur.
Comments
Post a Comment