Ini ketika aku menghabiskan malam terakhir bersama seorang lelaki, sebelum lelakiku ini kembali ke benua asalnya.
Malam terakhir kami habiskan di club favoritku hingga larut
menjelang subuh, mabuk, dan berakhir di kamar hotelnya.
Aku tahu berakhir di kamar hotelnya di saat pagi-pagi aku
harus kembali ke hotelku karena aku
sudah punya rencana dengan kawanku untuk pergi ke Ubud untuk one day trip bukan
pilihan yang bijaksana.
Namun beberapa jam kan cukup berharga, mengingat belum
tentu kami bisa bertemu lagi di lain waktu kan.
Duh. Bros before hoes you know. Janji adalah janji.
Walaupun, kali itu aku berpikir tidak apa-apa sekali-kali aku stay lebih lama,
ya paling tidak sarapan bersama.
Antara breakfast in bed dengan lelakiku atau memulai
trip ke Ubud yang lebih baik dimulai pagi hari.
Pilihan sulit, aku berjanji pada kawanku di malam kami
berpisah bahwa jam 8 pagi aku pasti kembali ke hotel kami untuk berangkat ke
Ubud. Janji yang tidak bisa ku ingkari, karena kawanku itu sudah jauh-jauh
menyusulku ke Bali, aku harus menjadi tuan rumah yang baik.
Cukup berat harus membangunkan lelakiku pagi itu untuk berpamitan. Ditambah lagi harus menolak ajakannya untuk breakfast in bed bersamanya.
Ini saat-saat terakhir kami bersama, sebelum kami bertemu kembali di waktu yang
tidak tahu kapan itu nanti.
‘No breakfast in bed, Baby, sorry I have to go. See
you when I see you.’
Kata-kata yang aku ucapkan itu sungguh terdengar cool
ya. Padahal dalam hatiku bergetar. Aku memeluknya sebentar. Dia berharap aku
bisa bersamaya sedikit lebih lama.
Sedih, aku meninggalkannya.
Aku mendengarnya terisak. Haha, entah itu tangisan
atau dia ingusan. Dia sedang pilek berat memang. Namun, biarkanlah aku percaya
itu tangisan sedih karena berpisah denganku.
Aku ternyata cukup sedih pada perpisahan ini. Ternyata
aku cukup menyukainya. Namun tentu saja, di setiap pertemuan pasti ada perpisahan.
Aku berjalan menuju pintu keluar dan tidak sanggup
menengok ke belakang.
Jam 7 pagi di lobby hotelnya tampak sepi, ya, ini dia walk
of shame. Mukaku tidak karuan. Apalah itu #iwokeuplikethis, tidak berlaku
untukku. Tatapan menghakimi yang aku tangkis dengan kacamata hitam. Sialan, aku
pasti terlihat seperti bagian dari prostitusi.
Di jalan kembali ke hotelku. Aku mencoba menghubungi kawanku
itu. Dia sama sekali tidak membaca text dan tidak mengangkat telfon. Perasaanku
tidak enak.
Benar saja. Ternyata, dia masih tertidur pulas.
Brengsek. Ini level yang dipukul keras pun tidak bikin dia bangun.
Perjuangan berusaha membangunkan kawanku itu,
berlangsung cukup lama, yang kuisi dengan melanjutkan tidur sebentar. Kan aku
tidak tidur cukup semalam.
Tertidur sebentar, aku bangunkan kawanku, dia tidak
bangun juga, aku tidur kembali, aku terbangun, aku coba bangunkan lagi, tidak
berhasil, begitu seterusnya.
Tebak kami baru berangkat ke Ubud jam berapa? Jam 11.
Kurang ajar. Dia tidak tahu 3 jam pun cukup berharga di momen-momen kebersamaan
terakhirku dengan lelakiku.
Di perjalanan ke Ubud hatiku sendu, meratapi
kemungkinan breakfast in bed yang sungguh manis untuk dibayangkan. Nasib.
Comments
Post a Comment