Dahiku terasa sakit
sekali, seperti habis menabrak sesuatu dengan cukup keras, yang aku tidak tahu
apa, serta tambahan pusing kali ini terasa berlipat ganda, yang aku tahu
penyebabnya apa, aku terlalu banyak meminum sesuatu yang mengandung zat
memabukkan.
Mencoba mengingat apa
yang aku telah alami, tidak bisa, kilasan memori terakhir terhenti di permainan
Korean Bomb, soju dan bir, aku ingat bagaimana aku menenggak minuman itu dengan
penuh percaya diri. Aku hilang setelahnya. Menakutkan dan berbahaya.
Malam itu, aku
bersama kawan-kawan terdekatku,dengan tambahan personel, seorang lelaki. Cerita
klasik, malam itu malam terakhirnya di Jakarta. Kuputuskan untuk mengajaknya
pergi dengan kawan-kawanku, setelah ajakan kencannya kutolak beberapa hari yang
lalu. Pergi berdua dengannya untuk saat-saat dimana imanku sedang sangat tipis
dan jiwaku sedang rapuh, bukan pilihan yang baik.
Berakhir di ranjang lelaki
ini, tidak baik untuk kesehatan mentalku setelahnya.
Kawan-kawanku adalah
filter terbaik yang kumiliki, batas antara diriku dan dunia yang kejam.
Aku selalu tertarik
dengan lelaki gila. Predator-predator yang mahir dengan wanita, selalu tampak menarik
bagiku. Aku tidak tertarik dengan predator kelas teri atau lelaki yang berusaha
terlihat seperti predator. Resiko dan bahaya yang datang di dalam hubunganku
dengan mereka, membangkitkan adrenalin. Bukannya bersembunyi atau berlari
sejauh-jauhnya apabila melihat mereka, namun justru aku malah menampakkan
batang hidungku, menghampiri mereka di luar batas amanku, seakan meminta untuk
diburu.
Itulah yang kulakukan
dengan lelaki ini, predator ini melihat sosokku bagai seekor tupai kecil yang
sedang bosan. Dia menyaksikanku melompat-lompat lincah di sekelilingnya,
menunggu dengan sabar hingga aku lengah,
lelah, dan jatuh.
Lelaki kali ini cukup
menarik, dari segi usia, pekerjaan, dan juga kebangsaan. Terpaut jarak beberapa
tahun, kepala tiga, adalah usia yang sangat seksi. Pekerjaannya di industri
kreatif, tentu saja salah satu alasan mengapa semua rayuannya terdengar sangat
menarik. Kebangsaannya, dia bukan berasal dari negara ini, namun jarak
negaranya tidak terlalu jauh, membuatku lega karena tidak harus berurusan
dengan tiket pesawat mahal, waktu terbang yang lama, dan juga perbedaan zona
waktu tidak terlalu jauh.
Dia dapat
berinteraksi dengan baik bersama kawan-kawanku. Salah satu test yang tanpa dia
sadari telah dia lewati.
Namun, sebercak rasa
khawatir menjalar pagi itu, aku cukup
yakin malam itu tidak berakhir baik. Sangat mungkin terjadi suatu
kejadian yang buruk ataupun memalukan.
Mencoba mengumpulkan
kepingan puzzle, menghabiskan sore hari setelahnya dengan bantuan kacamata
hitam, entah tidak kuat menghadapi sinar matahari atau tidak kuat menghadapi
malu, untunglah mentari sedikit sendu hari itu dan gerimis yang turun membuat bumi
terasa lebih menenangkan, sehingga aku dapat melepas kacamata hitam itu, ketika
aku bertemu kawanku, tidak ada kata-kata yang dapat kuucapkan, aku memeluknya
erat dan mengucapkan sungguh-sungguh bahwa aku sangat menyayanginya. Aku tahu
dia menyayangiku, terlihat dari beberapa panggilan yang tidak kuangkat dan juga
beberapa pesan singkat yang tidak kubalas pada akhir malam itu. Nampaknya aku
sudah tidak sanggup membalas ataupun mengangkat apapun itu begitu aku menyentuh
kasur.
Ngeri. Aku bersiap
mendengarkan apa saja yang telah kulakukan malam itu. Campuran antara helaan
nafas panjang, rasa gemas dan sayang, kawanku mulai bercerita.
Sembari memberanikan
diri untuk melihat pesan terakhir yang dikirimkan lelaki itu padaku, belum
apa-apa dia sudah rindu padaku katanya. Gombal dasar, yang kubalas untuk
sekedar mengecek apabila dia tidak tertinggal pesawatnya.
Obrolan dengan lelaki
itu berakhir dengan aku mulai mendapatkan kepingan puzzle terakhir kisah malam
itu, yang kudengarkan dari lelaki ini. Di pesan singkatnya. Lelaki ini berkata
‘You’re still having my card right?’
Hah. Kartu apa? Aku
mengecek dompetku dan benar saja, disana terdapat seonggok kartu ATM miliknya.
Tidak. Bagaimana mungkin ini terjadi. Sungguh kriminal.
Oke. Ada tiga tipe
pemabuk. Satu yang paling menyebalkan karena akan gampang sekali tersulut
emosinya dan senang mencari keributan. Tipe kedua yang sebenarnya paling aman karena ketika mabuk
justru jadi mengantuk dan bisa tertidur dimana saja. Ketiga yang paling berbahaya
karena nafsunya terhadap lawan jenis akan meningkat.
Aku, surga dan neraka
bagi lelaki itu, tipe pertama dan kedua melebur jadi satu.
Dimulai dengan aku
menyembunyikan handphone lelaki ini
ketika dia sedang berusaha memesan Uber. Dia harus pulang meningat flight paginya dan aku menjadi sangat marah
katanya, bersikeras menyimpan handphone
itu dalam bajuku, iya benar, kuselipkan di dalam pakaian dalamku. Sehingga dia
harus memohon pada temanku untuk membujukku mengembalikannya.
Pada akhirnya aku
mengembalikannya, lelaki ini berhasil memesan Uber, setelah sebelumnya menutup
semua bills malam itu dengan
kartunya. Dia mengecupku selamat tinggal, dengan dua pilihan yang diberikan
padaku, dimanakah baiknya dia mendaratkan kecupannya. Bibirkah atau pipi saja
cukup, yang kujawab dengan yakin dan kencang. Bibir!
Kehangatan yang
kurasakan pada bibirku, membuatku mengantarnya menuju lift pintu keluar. Panggilan
telepon dari supir Ubernya, kurebut dan kuminta untuk dibatalkan. Kami memasuki
lift yang terbuka. Aku menekan seluruh nomor yang ada pada lift itu dan mulai
melahap lelaki ini, yang di akhiri dengan makianku padanya karena dia
meninggalkanku malam itu. Untuk meyakinkanku bahwa lelaki ini akan kembali lagi
ke negara ini, aku meminta sebuah jaminan, ternyata kartu ATM itu adalah
jaminan yang diberikan kepadaku.
Lelaki ini entah
luluh atau merasa terancam, sempat mengajakku untuk pulang bersamanya karena
dia akan membatalkan penerbangannya hari itu untukku. Ajakan itu aku tolak, aku
memaksanya keluar dari lift, aku menyuruhnya untuk segera pulang. Setelah kartu
ATMnya kupegang, dia kutendang. Sungguh seperti panting ada uang abang sayang
tidak ada uang abang dibuang.
Begitulah kira-kira
rangkaian puzzle yang tersusun untuk menggambarkan kejadian malam itu. Aku
memeluk diriku sendiri dengan erat, bersiap membenamkan diriku ke pusat bumi.
Selesai hidupku. Aku
harus segera menyudahi kehidupan penuh alkohol dan dosa ini. Aku harus segera
mendekatkan diri pada Yang Maha Kuasa, sebelum aku dipanggil menemui-Nya.
Comments
Post a Comment