Setiap menghabiskan waktu bersama lelaki ini rasanya seperti mengonsumsi obat penenang. Stabil, tenang, dan ringan, aku seperti terjebak disuatu ruang waktu.
He is my chill pill.
Mari kuceritakan sedikit awal pertemuan kami. Lelaki hasil swipe ke kanan beberapa waktu lalu yang baru sempat ku tindak lanjuti setelah mood berkencanku kembali, setelah sempat rehat dari kancah kencan sana sini.
Pertama kali bertemu dengan lelaki ini, kami makan malam bersama, suasana saat itu lumayan kaku. Ya memang kami baru bertemu, namun, biasanya ocehan-ocehan ku itu bisa dengan cepat mencairkan suasana, oke, mungkin karena posisi duduk berhadapan dengan jarak meja yang cukup jauh di pertemuan pertama membuat suasana kaku itu muncul, atau jarak usianya yang lumayan jauh, bisa jadi karena aku sudah lama tidak berkencan, entahlah. Aku salah tingkah dengannya.
Nyaris aku meminta pertolongan, 911 pada kawanku, untuk menyelamatkanku dari kencan ini, yang setelah kupikir-pikir, mungkin bukan kawanku yang bisa menolong, namun alkohol, tentu saja.
Baiklah, jam masih pukul 9 malam, masih bisa menenggak sedikit alkohol sambil mendengarkan live music. Kami duduk bersebelahan di bar, suasana membaik, mulai terasa nyaman.
Dia gemar menatapku dalam-dalam. Astaga, aku tidak tahan dengan tatapannya di jarak sedekat ini yang seakan menelanjangi, bukan ke arah itu, tidak mengganggu, apa ya, dia tahan menatapku lama-lama, padahal aku saja tidak kuat menatap wajahku di kaca lama-lama.
Aku salah tingkah, hal yang sudah lama tidak aku rasakan ini di kencan pertama. Dengan hobi kencanku itu, bukan hal yang sulit untuk membuat obrolan mengalir, aku terbiasa dengan itu semua. Mungkin salah tingkah seperti ini bukan hal yang buruk, toh terasa lebih natural.
Kami masih bertemu lagi beberapa kali setelah itu untuk ajakan menonton, mengopi atau makan. Sangat konvensional, di jaman media komunikasi pilihannya sangat banyak ini, dia memilih untuk berkomunikasi secara efektif dan efisien. Janji makan siang di akhir pekan, biasanya dia bertanya mau makan siang jam berapa, aku jawab jam 1 siang. Keesokan harinya, tanpa ada basa basi, 5 menit sebelum jam 1, dia menelpon bahwa dia sudah sampai untuk menjemputku. Tepat waktu.
Janji untuk bertemu, biasanya sudah dibuat dari jauh-jauh hari. Seperti anak kecil yang menanti hari ulang tahunnya, seperti itulah aku menanti momen-momen untuk bertemu dengannya. Ada secercah cahaya di hidupku, ada sesuatu yang aku nanti, disaat dimana aku menjalani hidup hanya hari per hari, minggu per minggu, tidak begitu bersemangat menyambut masa depan yang tak menentu itu.
Aku terbiasa membiarkan pilihan-pilihan untuk kemana dan melakukan apa terbuka hingga detik-detik menjelang hari H. Sama seperti akan kemana merayakan tahun baru. Iya aku suka pesta, tapi kan tak perlu menunggu tahun baru untuk pesta dan mabuk. Tahun baru kali itu, aku ingin santai. Kaos, celana pendek, dan sandal saja. Makan, duduk, minum santai, dan mengobrol. Tidak muluk-muluk.
Ada beberapa pilihan untuk menghabiskan tahun baru, salah satunya dengan lelaki ini. Aku belum memutuskan.
Ceroboh atau mungkin alam bawah sadarku ternyata sudah memilih. Aku meninggalkan suatu barang dimobilnya, yang mau tidak mau berarti aku harus bertemu dengannya untuk mengambil barang tersebut.
Seperti hari biasa saja, aku suka mengopi di suatu tempat sore hari, suasananya walaupun outdoor membuat lupa bahwa kamu sedang berada di Jakarta. Akan kemana sehabis itu, belum tahu, nampaknya bisa merebahkan diri disuatu tempat adalah ide yang menarik. Dengan wajah tenang dia nampaknya setuju dengan ide itu.
Kami berakhir di sebuah kamar hotel. Hanya sekedar merebahkan diri? Omong kosong, kami berdua tahu akhirnya akan kemana sore itu.
Dosis-dosis ringan tentang dirinya itu, dia berikan secara perlahan kepadaku hingga pada puncaknya adalah ketika aku membuka kadoku, bertemu Buddy untuk pertama kali. Aku rasa pupil mataku membesar saat itu, kaget campur bersemangat. Aku tidak menyangka akan mendapati adanya tattoo di area itu. Aku tercekat. Entah kejutan apalagi yang dia miliki.
There is nothing hotter than a gentleman who knows when not to be gentle. A gentleman on the street, a freak in the sheets.
Kawanku, yang aku ceritakan betapa aku menemukan sesuatu kedamaian dari kebersamaan dengan lelaki ini, menjadi sangat sinis ketika mendengar detail tambahan mengenai kisah di ranjang. Katanya, ini semua hanya nafsu duniawi, tidak ada itu yang namanya kedamaian yang aku ceritakan, tidak spiritual sama sekali. Sialan.
Aku mengonsumsi chill pill (bukan lelaki ini) terkadang. Untuk mengatasi lonjakan-lonjakan mood yang suka tidak terkendali dan melelahkan. Aku suka keadaan dimana aku stabil, tenang, ringan dan bersahabat. Aku tahu, mengonsumsi obat tersebut tanpa adanya resep dokter, bukan hal yang baik, apalagi ketika takarannnya hanya sebatas kira-kira saja.
Dalam pengaruhnya, aku teralihkan dari kenyataan hidup yang memang tidak selalu stabil, tidak selalu tenang, tidak selalu ringan, dan tidak selalu bersahabat. Aku menikmati waktu-waktu teralihkan itu. Me in a parallel universe.
Namun, kedua macam chill pills itu tidak selalu tersedia, saat dimana aku tidak bisa mendapatkan chill pills itu justru saat ketika aku paling membutuhkan. Tak ada pilihan lain selain kembali realita yang ada dan menghindari rasa ketergantungan yang ada.
Sayangnya kali ini akhirnya kisahnya lumayan tragis. Lelaki ini menghilang. Entahlah, mungkin dia harus kembali ke dunianya. Dunia dimana halalnya adalah haramku. Selain itu, mataku tidak cukup kecil dan kulitku terlalu gelap untuk bisa terlihat sepertinya. Seperti pungguk merindukan bulan.
Kisahku bersamanya perlahan-lahan mulai menjadi kilasan-kilasan memori vivid, yang tampak nyata namun tak nyata. Astaga. Mungkin saja lelaki ini sebenarnya tak pernah ada, dan ternyata ini semua hanya imajinasiku saja.
He is my chill pill.
Mari kuceritakan sedikit awal pertemuan kami. Lelaki hasil swipe ke kanan beberapa waktu lalu yang baru sempat ku tindak lanjuti setelah mood berkencanku kembali, setelah sempat rehat dari kancah kencan sana sini.
Pertama kali bertemu dengan lelaki ini, kami makan malam bersama, suasana saat itu lumayan kaku. Ya memang kami baru bertemu, namun, biasanya ocehan-ocehan ku itu bisa dengan cepat mencairkan suasana, oke, mungkin karena posisi duduk berhadapan dengan jarak meja yang cukup jauh di pertemuan pertama membuat suasana kaku itu muncul, atau jarak usianya yang lumayan jauh, bisa jadi karena aku sudah lama tidak berkencan, entahlah. Aku salah tingkah dengannya.
Nyaris aku meminta pertolongan, 911 pada kawanku, untuk menyelamatkanku dari kencan ini, yang setelah kupikir-pikir, mungkin bukan kawanku yang bisa menolong, namun alkohol, tentu saja.
Baiklah, jam masih pukul 9 malam, masih bisa menenggak sedikit alkohol sambil mendengarkan live music. Kami duduk bersebelahan di bar, suasana membaik, mulai terasa nyaman.
Dia gemar menatapku dalam-dalam. Astaga, aku tidak tahan dengan tatapannya di jarak sedekat ini yang seakan menelanjangi, bukan ke arah itu, tidak mengganggu, apa ya, dia tahan menatapku lama-lama, padahal aku saja tidak kuat menatap wajahku di kaca lama-lama.
Aku salah tingkah, hal yang sudah lama tidak aku rasakan ini di kencan pertama. Dengan hobi kencanku itu, bukan hal yang sulit untuk membuat obrolan mengalir, aku terbiasa dengan itu semua. Mungkin salah tingkah seperti ini bukan hal yang buruk, toh terasa lebih natural.
Kami masih bertemu lagi beberapa kali setelah itu untuk ajakan menonton, mengopi atau makan. Sangat konvensional, di jaman media komunikasi pilihannya sangat banyak ini, dia memilih untuk berkomunikasi secara efektif dan efisien. Janji makan siang di akhir pekan, biasanya dia bertanya mau makan siang jam berapa, aku jawab jam 1 siang. Keesokan harinya, tanpa ada basa basi, 5 menit sebelum jam 1, dia menelpon bahwa dia sudah sampai untuk menjemputku. Tepat waktu.
Janji untuk bertemu, biasanya sudah dibuat dari jauh-jauh hari. Seperti anak kecil yang menanti hari ulang tahunnya, seperti itulah aku menanti momen-momen untuk bertemu dengannya. Ada secercah cahaya di hidupku, ada sesuatu yang aku nanti, disaat dimana aku menjalani hidup hanya hari per hari, minggu per minggu, tidak begitu bersemangat menyambut masa depan yang tak menentu itu.
Aku terbiasa membiarkan pilihan-pilihan untuk kemana dan melakukan apa terbuka hingga detik-detik menjelang hari H. Sama seperti akan kemana merayakan tahun baru. Iya aku suka pesta, tapi kan tak perlu menunggu tahun baru untuk pesta dan mabuk. Tahun baru kali itu, aku ingin santai. Kaos, celana pendek, dan sandal saja. Makan, duduk, minum santai, dan mengobrol. Tidak muluk-muluk.
Ada beberapa pilihan untuk menghabiskan tahun baru, salah satunya dengan lelaki ini. Aku belum memutuskan.
Ceroboh atau mungkin alam bawah sadarku ternyata sudah memilih. Aku meninggalkan suatu barang dimobilnya, yang mau tidak mau berarti aku harus bertemu dengannya untuk mengambil barang tersebut.
Seperti hari biasa saja, aku suka mengopi di suatu tempat sore hari, suasananya walaupun outdoor membuat lupa bahwa kamu sedang berada di Jakarta. Akan kemana sehabis itu, belum tahu, nampaknya bisa merebahkan diri disuatu tempat adalah ide yang menarik. Dengan wajah tenang dia nampaknya setuju dengan ide itu.
Kami berakhir di sebuah kamar hotel. Hanya sekedar merebahkan diri? Omong kosong, kami berdua tahu akhirnya akan kemana sore itu.
Dosis-dosis ringan tentang dirinya itu, dia berikan secara perlahan kepadaku hingga pada puncaknya adalah ketika aku membuka kadoku, bertemu Buddy untuk pertama kali. Aku rasa pupil mataku membesar saat itu, kaget campur bersemangat. Aku tidak menyangka akan mendapati adanya tattoo di area itu. Aku tercekat. Entah kejutan apalagi yang dia miliki.
There is nothing hotter than a gentleman who knows when not to be gentle. A gentleman on the street, a freak in the sheets.
Kawanku, yang aku ceritakan betapa aku menemukan sesuatu kedamaian dari kebersamaan dengan lelaki ini, menjadi sangat sinis ketika mendengar detail tambahan mengenai kisah di ranjang. Katanya, ini semua hanya nafsu duniawi, tidak ada itu yang namanya kedamaian yang aku ceritakan, tidak spiritual sama sekali. Sialan.
Aku mengonsumsi chill pill (bukan lelaki ini) terkadang. Untuk mengatasi lonjakan-lonjakan mood yang suka tidak terkendali dan melelahkan. Aku suka keadaan dimana aku stabil, tenang, ringan dan bersahabat. Aku tahu, mengonsumsi obat tersebut tanpa adanya resep dokter, bukan hal yang baik, apalagi ketika takarannnya hanya sebatas kira-kira saja.
Dalam pengaruhnya, aku teralihkan dari kenyataan hidup yang memang tidak selalu stabil, tidak selalu tenang, tidak selalu ringan, dan tidak selalu bersahabat. Aku menikmati waktu-waktu teralihkan itu. Me in a parallel universe.
Namun, kedua macam chill pills itu tidak selalu tersedia, saat dimana aku tidak bisa mendapatkan chill pills itu justru saat ketika aku paling membutuhkan. Tak ada pilihan lain selain kembali realita yang ada dan menghindari rasa ketergantungan yang ada.
Sayangnya kali ini akhirnya kisahnya lumayan tragis. Lelaki ini menghilang. Entahlah, mungkin dia harus kembali ke dunianya. Dunia dimana halalnya adalah haramku. Selain itu, mataku tidak cukup kecil dan kulitku terlalu gelap untuk bisa terlihat sepertinya. Seperti pungguk merindukan bulan.
Kisahku bersamanya perlahan-lahan mulai menjadi kilasan-kilasan memori vivid, yang tampak nyata namun tak nyata. Astaga. Mungkin saja lelaki ini sebenarnya tak pernah ada, dan ternyata ini semua hanya imajinasiku saja.
Comments
Post a Comment