Cekikikan panjang itu harus kudengar sepanjang lift, dari lantai satu hingga lantai 30, berasal dari sepasang lelaki dan wanita entah pacaran atau rekan kerja.
Membahas film yang semalam mereka tonton, tentang beberapa adegan norak, konyol, dan tidak masuk akal bagi mereka di film itu, Beauty & The Beast.
Selera memang tidak bisa disalahkan. Tapi tolonglah, obrolan dan cekikikanmu yang keras-keras itu belum tentu lucu dan menghibur orang-orang disekelingmu. Beruntunglah yang sedang memasang lagu melalu headsetnya, yang tidak ada, ya terpaksa harus mendengar obrolan itu. Tata krama, mohon dicamkan. Terutama di tempat sempit seperti lift yang sedang padat orang. Norak.
Hari itu aku dan kawanku akan menonton film yang sama. Motivasi kawan lekakiku itu tak lain dan tak bukan selain memandangi Emma Watson. Kalau aku sih ya kebetulan hari ini tumben sekali, Seninku santai, aku kosong selasai kantor. Oke. Kenapa tidak.
Kisah Beauty & The Beast, sudah kubaca berkali-kali jaman kecil dulu. Aku sudah tahu akan seperti apa kisah dan akhir ceritanya.
Memasuki bioskop tanpa ekspektasi apapun, berakhir dengan perasaan campur aduk setelah film selesai.
Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya. Hati tercekat. Ingin segera mencari tempat merokok untuk menenangkan hati.
Teringat cekikikan di lift tadi siang. Aku mendadak jadi kesal. Seandainya saat itu aku sudah menonton film ini, film yang berhasil membuatku merasakan sesuatu yang sangat intens di hati. Hal yang akan aku lakukan saat itu adalah menginjak keras-keras kedua pasangan tanpa tata krama itu.
Pertama, mereka berisik. Kedua, mereka norak. Ketiga, ini karena obrolan mereka yang membahas detail tidak penting tentang film ini yang bagi mereka konyol, cukup melukai hatiku.
That kind of warmth in your heart after a while. Hmm. Mixed feelings. Tak diduga malah disebabkan olah sebuah film. Film yang alur ceritanya membuatku sampai tidak memperhatikan detail-detail konyol dan tak masuk akal di dunia nyata yang biasanya bisa menggangguku untuk meresapi ceritanya.
Ini bukan tentang happy ending ala Walt Disney yang membuat jadi berhalusinasi untuk memiliki kisah seperti itu.
Karakter Belle atau The Beast seolah-nampaknya cukup membuat aku atau kamu merasa bisa merelasikan film itu dengan kepingan-kepingan watak, momen, atau perasaan yang pernah dialami.
Film ini memunculkan banyak memori-memori di masa lalu, ditambah dengan menyadari realita yang ada, berakhir menimbulkan sedikit kekhawatiran dan sebercak rasa putus asa akan masa depan untuk bisa memiliki (akhir) kisah bahagia yang sama.
Berjalan keluar bioskop, aku menengok kawanku. Aku tahu dari tatapan nanarnya, aku tidak sendiri.
Analogi yang bisa kugunakan kali ini adalah seperti mall pada pukul 22.00 malam. Masih lumayan ramai orang, cukup berisik, namun kebanyakan sudah berencana untuk pulang.
Menjadi bangunan yang menyaksikan banyak pengunjung regular ataupun baru dengan segala aktifitasnya sepanjang hari memang menyenangkan, tetapi adakalanya lelah dan tidak sabar menanti semua pengunjung ini pergi. Barulah nanti ketika itu benar terjadi, tersadar bahwa setelah itu, hanya sunyi senyap yang tersisa. Lalu, ditengah kekosongan dan kesunyian, mendambakan esok hari, untuk merasakan segala hirup-pikuk itu lagi.
Hati kami ataupun hidup kami saat ini lebih lebih tepatnya, seperti kisah mall itu di malam hari. Kosong. Bukan berarti kami tidak bersyukur dengan segala hirup pikuk yang kami alami dan semua pengunjung-pengunjung itu, hanya saja semua kunjungan itu hanya sementara, mungkin mereka akan kembali esok hari, bulan depan, atau mungkin tak akan kembali.
Aku disini akan bersikap defensif, terhadap komentar seperti kalau mau sesuatu yang konstan suruh developer-nya untuk bangun townhouse saja bukan bangun mall. Hey, ada sesuatu yang namanya garis hidup. Ya, terkadang kamu berakhir disuatu keadaan diluar kapasitasmu untuk menentukan akhirnya seperti apa. Siapa tahu suatu saat nanti mall itu akan diratakan atau sekedar direnovasi untuk dijadikan tempat lain entah apa itu.
Oke, selesai perkara analogi. Membakar sebatang rokok ternyata tak cukup mengobati kehampaan dihati.
Mungkin segelas bir dingin yang bisa. Beruntunglah masih ada bar yang buka di luar jam operasional mall ini, tempat yang siap menampung kami.
Duduk diam di bar, dengan gelas bir dingin di genggaman, kami berdua memiliki cara yang berbeda menghadapi hati masing-masing. Kawanku nampaknya melampiaskannya dengan membalas obrolan-obrolan dengan wanita-wanitanya yang mungkin tadi tak sempat dia hiraukan selama menonton.
Sedangkan aku, melamun, kilasan-kilasan momen hidup berseliweran di kepalaku sembari menatap cahaya lilin di depanku, dengan latar belakang seorang bartender yang sedang membuat minuman.
Aku memperhatikan gerak-gerik bartender itu. Nampaknya menarik (bukan bartendernya namun kegiatannya membuat minuman itu), dia menuangkannya di gelas cocktail kecil dan di beberapa sloki. Minumannya dua macam sepertinya, satu bewarna bening dan satu bewarna lebih gelap.
Waduh, apa nama menunya ya. Kok lucu sekali ada tambahan gelas-gelas kecil selain gelas utama, aku ingin bertanya apa namanya untuk memesannya lain kali. Aku sangat mudah beralih fokus. Hingga akhirnya lamunanku terhenti ketika, gelas-gelas sloki itu di taruh dihadapanku dan temanku.
Apa ini. Ini buat kami?
Kaget dan sangat terharu. Astaga, Mas Bartender...
Compliment katanya sembari mengajak bersulang. Bartender ini dan dua minumannya, Negroni dan Blanco, menjadi penutup malam itu. Cheers!
Kedua minuman itu meninggalkan semerbak wangi setelah meminumnya. Tak hanya terasa bunga-bunga di mulut, namun juga bunga-bunga di hati, entah mengapa, hati kami menjadi hangat karena kebaikan random tak disangka ini.
Comments
Post a Comment